Jakarta, 4 Januari 2021 – Undang-Undang Cipta Kerja bidang pengelolaan lingkungan hidup kedepankan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran, kecuali sudah berdampak pada Kesehatan, Keselamatan orang dan Lingkungan (K2L).
Direktur Penegakan Pidana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Yazid Nurhuda, SH.MH mengatakan penerapan sanksi pidana kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran dalam Undang-Undang Cipta Kerja bidang lingkungan itu sebagai alternatif terakhir.
Pelaku usaha hanya dikenakan sanksi administratif, kecuali jika pelanggaran pidana itu sudah berdampak pada K2L, yakni Kesehatan, Keselamatan orang atau Lingkungan.
“Untuk kejahatan di bidang lingkungan, UUCK mengamanatkan langsung pidana karena sudah berdaampak pada lingkungan,” ujar Yazid Nurhuda dalam diskusi kerjasama Tim Serap Aspirasi dan Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan tema “RPP Turunan UUCK Terkait Usaha Perkebunan.
Yazid menambahkan KLHK sedang menyusun 3 RPP terkait UUCK, yakni pertama RPP terkait perlindungan dan pengolahan lingkungan hidup, RPP Kehutanan, dan RPP Tata Cara pengenaan sanksi adminitsratif dan tta cara penerimaan negara bukan Pajak yang berasal dari denda adimiststrtaof atas kegiatan usaha di dalam kawasan hutan.
Soal RPP yang disebutkan terakhir ini, kata Yazid lahir guna memberikan kepastian hokum dan kepastian berusaha. RPP ini mengatur pelaku usaha perkebunan kelapa sawit yang sudah mengantongi izin lokasi atau izin usaha perkebunan sesuai tata ruang dari pejabat terkait, namun karena perubahan kebijakan pemerintah soal peraturan daerah tentang Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) maka ternyata wilayah tersebut berada dalam kawasan hutan. Untuk kasus ini akan diselesaikan UU dalam pasal 110 A dan RPP ini.
“Mudah-mudahan dapat ikut serta dalam menyelesaikan konflik teritorial terkait masyarkat di sekitar hutan dan juga masyarakat di dalam dan sekitar hutan tidak diberikan sanksi tetapi akses sosial,” ujarnya.
Tim Serap Aspirasi (TSA) Pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja, Prof Budi Mulyanto dalam pengantar diskusi menyebutkan UUCK ini sangat penting bagi Indonesia yang merupakan negara besar. Peraturan perundangan selama ini masih bersifat sectoral yang satu sama lain tak terhubung dengan baik.
Bahasa halusnya, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB itu menyebut tidak harmonis antara satu dan lain. Maka disusun UUCK yang bersifat Omnibus Law. Sebanyak 74 Undang-Undang yang diharmonisasikan agar membuat projek bisnis dengan baik.
“Kita punya data banyak konflik agraria, perizinan panjang ada puluhan. Izin berusaha lebih dari 50 dan itu mending bisa diselesaikan setahun, lima tahun saja tidak bisa,” ujarnya.
Ia melanjutkan proses perizinan yang tidak jelas, baik dalam hal persyaratan, harga dan waktu penyelesaian. Setelah perizinan keluar tetap saja pelaku usaha masih dituntut ini-itu.
“Makanya harus diselesaikan dengan UUCK. Sekarang sudah diundangkan dan harus ditindaklanjuti dengan peraturan berikutnya RPP dan RPerpres. Sampai saat ini ada 40 RPP dan 4 RPerpres dan ini yang hemat saya dibuka untuk dapat mendapat partsipasi untuk menyerap aspirasi,” ujarnya.